Senin, 03 Maret 2008

Gempa Klaten Bantul-3

(Tulisan ini adalah salinan dari tulisan saya pada milis alumni sman magelang 1974 berkenaan dengan gempa Klaten Bantul 2006)

In the last week berita di televisi banyak menyiarkan berita tentang penanganan korban akibat gempa sabtu 27/05/06. Pemberitaannya riuh rendah tetapi yang banyak didukani oleh masyarakat jurnalis adalah kinerja pemerintah/ birokrat/ PNS. Rasanya berita tidak akan menarik tanpa blaming the government. Kita menjadi terbiasa dengan ungkapan: pemerintah lamban, tidak tanggap, tidak peka, prosedur berbelit – belit, terlalu birokratis, dsb. Itu yang terjadi sekarang ini. Yang terjadi berikutnya, yaitu jika penanganan korban akibat gempa ini sudah lewat adalah pemerintah akan didukani lagi lewat kata kata: bantuan dikorupsi, diselewengkan, tidak tepat sasaran, distribusi tidak merata dsb.


‘Birokratis’ dan ‘diselewengkan’ tampaknya merupakan dua kutub dari kinerja birokrasi. Untuk menjamin bantuan tidak diselewengkan maka prosedur harus ditempuh secara lengkap (birokratis), sehingga butuh waktu yang lama. Sebaliknya untuk mempercepat penanganan korban maka prosedur mesti dipangkas atau bahkan ditiadakan tetapi ini rawan penyelewengan. Biasanya yang ditempuh adalah trade off dari 2 kutub tersebut. Tetapi di zaman yang pancaroba ini birokrat nampaknya tidak mau ambil resiko. Mereka umumnya pada umur yang hampir pensiun dan tidak ingin masa pensiun mereka diganggu dengan urusan sebelum pensiun. Mereka tentu akan menerapkan prosedur lengkap (dan kaku).

Mereka akan membaca prosedur dengan cermat dan menerapkannya dengan cermat pula. Kalau seseorang birokrat diminta membagi bantuan kepada 100 orang korban dalam suatu kampung maka hanya kepada mereka bantuan itu akan diberikan walaupun di kampung tsb ternyata ada 100 orang korban lainnya. Jika dari 100 yang tertulis ternyata hanya 20 orang yang ada maka bantuan hanya akan diberikan kepada 20 orang itu sedang lainnya dikembalikan lagi walaupun tahu ada orang lainnya yang memerlukan. Semua bantuan harus dapat dipertanggung­jawabkan, tercatat, harus ada bukti serah terima, harus ada bukti bahwa si penerima shahih, dsb.

Beberapa birokrat mungkin ada yang tidak kuat hati karena iba atau desakan masyarakat setempat sehingga, misalnya, membagi rata bantuan ke semua korban atau menyerahkan sisa bantuan kepada korban yang lain yang belum menerima. Namun hal ini sebenarnya adalah bagai memasang tali gantungan untuk diri sendiri karena di depan sana telah menghadang BPKP, BPK bahkan jaksa dan hakim. Di sana juga telah menghadang jurnalis yang siap memberitakan 'penyelewengan' oleh birokrat itu.

Penanganan korban bencana mestinya tidak melibatkan birokrat secara langsung. Mereka cukup mengolah data dan informasi saja. Penanganan langsung dilakukan oleh tentara dengan prosedur tentara sebagaimana mereka menangani perang atau operasi keamanan. Dengan cara ini rasanya keluhan masyarakat bisa diminimalkan.

Baca lanjutan!

Gempa Klaten Bantul-2

(Tulisan ini adalah salinan dari tulisan saya pada milis alumni sman magelang 1974 berkenaan dengan gempa Klaten Bantul 2006)

Senin 29/05 saya ngantor di Solo. Kolega di Semarang memberitahu bahwa hari ini rombongan Kantor Pusat di Semarang akan meninjau bencana di Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten sambil memberikan sumbangan dan mengirim satu unit alat berat (excavator). Setelah berkoordinasi maka saya dan 2 orang subordinates pergi juga ke sana, mapag. Sampai lewat dhuhur ternyata rombongan belum juga muncul di Kecamatan Wedi. Kami lalu menyerahkan sumbangan dari kantor kami ke kantor kecamatan dan kemudian pergi untuk melihat medan.


Kecamatan Wedi dikabarkan saat itu sebagai yang terparah di Kab Klaten tetapi menurut laporan beberapa subordinates Kecamatan Gantiwarno adalah yang terparah. Di Kecamatan Wedi terlihat banyak rumah di pinggir jalan ambruk. Begitu juga sepanjang perjalanan kami melalui Kecamatan Jogonalan dan Kecamatan Prambanan. Saya rasa Kecamatan Prambanan adalah yang paling parah karena lebih banyak rumah yang ambruk. Saya membawa kamera tetapi untuk merekam keadaan saat itu saya tidak tega dan juga tidal berani, takut kepada masyarakat /penduduk setempat.

Penduduk setempat di Kecamatan Prambanan banyak yang berkerumun di tepi Jalan Nasional Solo Jogja memungut sumbangan dari para dermawan yang lewat. Karenanya lalu lintas di sana berjalan melambat. Di Prambanan kegiatan juga melambat atau boleh dikatakan lumpuh, terlihat tidak ada toko yang buka. Rencana kami untuk makan siang disana tidak terlaksana karena tidak ada warung yang buka.

Sepanjang pulang ke Solo saya berpikir bahwa penderitaan masyarakat akibat gempa dimulai dari ambruknya rumah rumah mereka. Karena rumah mereka ambruk maka hampir semua milik mereka yang mendukung kehidupan normal mereka terkubur. Mereka tidak bisa masak, tidak bisa melindungi diri dari hujan/ udara luar, tidak bisa berganti pakaian, tidak bisa mandi dllnya yang semuanya akan bermuara pada penderitaan fisik dan mental.

Kenapa rumah mereka ambruk? Karena dalam pembangunannya ternyata kaidah kaidah teknik sipil tidak dipakai. Kaidah teknik sipil menyatakan suatu struktur mesti stabil, kuat dan kaku (cukup kaku tetapi tidak terlalu kaku). Rumah rumah itu ternyata tidak stabil sehingga ambruk digoyang gempa yang belum seberapa besar. Rumah rumah itu tidak memakai kolom yang terikat satu dengan lainnya dengan memakai slof atau ringbalk. Rumah rumah itu dibangun tanpa memperhatikan beban mendatar. Rumah rumah itu berdiri tanpa IMB.

Saya juga melihat banyak prasarana yang dibangun oleh pemerintah seperti: jembatan, bendungan, bendung dan oleh swasta seperti gedung bertingkat bahkan oleh masyarakat seperti rumah dan ruko tetap kokoh berdiri. Mereka mungkin hanya mengalami rekahan di struktur sekunder atau di sambungan antara struktur sekunder dengan utama. Rekahan rekahan itu justru diperlukan sebagai pelepas energi seperti mimisen pada orang hipertensi atau penyoknya bemper pada mobil yang tabrakan.

Apakah mahal jika kaidah teknik sipil diindahkan? Saya rasa tidak. Saya melihat si empunya banyak yang mampu yang untuk melengkapi rumahnya dengan kolom dsb.nya adalah tidak sulit. Di peraturan daerahpun sudah ada yaitu peraturan yang terkait dengan penerbitan IMB. Seandainya orang Bantul dan Klaten mau mengurus IMB sebelum membangun atau menempati rumahnya, saya rasa akibat gempa kemarin tidak akan sehebat ini.

Baca lanjutan!

Gempa Klaten Bantul-1

(Tulisan ini adalah salinan dari tulisan saya pada milis alumni sman magelang 1974 berkenaan dengan gempa Klaten Bantul 2006)

Datang tanpa pesan pergi meninggalkan kesan, itulah kata kata salah satu stasiun televisi swasta mengomentari gempa yang baru saja terjadi di Bantul dan Klaten.


Pagi itu, Sabtu 27/05/06, di Semarang anakku mengatakan telah terjadi gempa yang cukup besar di Semarang. Ternyata kemudian simboknya anak anak (boss rumah) yang sedang nglencer di Surabaya juga kirim pesan pendek bahwa telah terjadi gempa di Bantul dan memakan korban. Teletext di televisi juga mengabarkan bahwa gempa dengan besar 5,9 skala Richter telah terjadi dengan episentrum di dekat Bantul. Bisa dipahami jika di Semarang saja terasa cukup besar apalagi di Bantul, tentu luar biasa. Boss juga instruksi agar dicek kondisi seorang kerabat di Bantul. Beberapa saat kemudian adik adik saya yang di Jakarta dan sekitarnya juga menyampaikan kabar dan instruksi yang sama. Instruksi boss dan para juragan di Jakarta adalah instruksi yang harus segera dilaksanakan.

Saya berusaha menelpon kerabat saya itu namun ternyata selalu gagal. Saya mencoba menelpon kolega dan subordinates yang tinggal di Jogja ternyata juga gagal. Karena itu saya kirim pesan pendek kepada mereka dengan harapan pesan segera dapat diterima ketika mereka hidupkan telpon genggam mereka.

Sementara itu, para subordinates di Solo dan sekitarnya melapor bahwa kondisi prasarana dalam tanggung jawab kami aman. Namun demikian rumah seorang kolega mereka di Kecamatan Cawas Kab Klaten ambruk. Seperti biasa, saya beri arahan untuk tindakan segera (bagi mereka mungkin membosankan) dan sebagai subordinate juga saya melapor ke supervisor. Habis itu saya agak demam juga kalau kalau ada arahan darinya yang merepotkan tetapi ternyata sampai esok harinya tenang tenang saja.

Sore hari saya dapat jawaban dari kerabat saya bahwa dia dan keluarganya selamat, alhamdulillah, namun demikian rumahnya porak poranda. Karena saya tidak dapat konfirmasi lebih lanjut (masih susah berkomunikasi) saya menerjemahkan porak poranda sebagai rumahnya ambruk. Saya forward pesan pendek dari kerabat tersebut kepada para juragan di Jakarta dan mereka sependapat dengan terjemahan saya. Bantuan segera disiapkan.

Ahad siang 28/05(hari H+1) bantuan terkumpul. Setelah belanja seperlunya sore hari saya ke Bantul nunut adik saya yang berdomisili di Salaman Kab Magelang. Dalam perjalanan adik saya bercerita bahwa pada hari H dia ke Jogja dan menjumpai banyak orang ketakutan. Mereka tidur dan memarkir mobilnya di lapangan dan di pinggir pinggir jalan. Tetapi saat saya kesana keadaan seperti itu sudah tidak ada lagi. Mungkin karena hujan sedang turun maka mereka kembali masuk ke rumahnya.

Walau sebagian besar utuh, beberapa bangunan di Jogja runtuh sebagian. Pojok beteng juga runtuh. Makin ke selatan frekuensi menjumpai keruntuhan semakin tinggi. Sepanjang jalan ke Bantul dari Jalan Lingkar Selatan Jogja saya menjumpai banyak rumah yang runtuh bahkan ambruk. Perkerasan jalan patah atau mletot. Jembatan masih berdiri kokoh tetapi oprit (entrance) nya sedikit amblas.

Di sepanjang jalan juga dijumpai papan tanda menerima bantuan. Papan itu hanya diterangi dengan sinar sentir atau ban yang dibakar karena listrik PLN padam atau mungkin dipadamkan. Masih dapat dilihat penduduk yang tidur di luar rumah (rumahnya sudah atau hampir ambruk) di dalam tenda atau gubug darurat. Beberapa orang hilir mudik atau duduk bergerombol di antaranya berjaga.

Rumah kerabat ada di sebuah RT di Desa Melikan ternyata masih utuh. Menurut penduduk setempat di RT itu tidak ada rumah yang runtuh atau ambruk. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa kerabat kami saat itu tidak ada di rumah karena mengungsi ke Gunung Kidul. Mereka mengungsi karena takut ada gempa lagi dan juga karena listrik padam. Saya dan adik saya segera meninggalkan Bantul. Bantuan diserahkan di suatu kampung dalam perjalanan pulang. Adik saya terus pulang ke Magelang setelah mengantar saya ke Terminal Bus Giwangan. Terminal saat itu gelap dan sepi. Saya minta adik saya untuk ke Bantul lagi kalau kerabat sudah pulang dari pengungsian. Saya terus ke Solo karena esoknya mesti masuk kantor. Saya kirim pesan kepada para juragan di Jakarta MISSION ABORTED.

Baca lanjutan!