Kamis, 31 Juli 2008

Jumlah Penduduk dan Ketersedian Air Jawa Tengah

Jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 228 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk sbesar itu Indonesia menempati posisi ke empat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia setelah China, India dan USA. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi adalah penyebabnya.

Laju pertumbuhan penduduk (population growth rate) Indonesia adalah 1.25% per tahun. Pertumbuhan tersebut disebabkan oleh tingginya total fertility rate (TFR – rata rata jumlah anak seorang perempuan usia subur) sebesar 2,17 (sumber lain menyebut 2,34) dan besarnya komponen penduduk usia subur (67,9%).

Penduduk Jawa Tengah diperkirakan adalah 32,2 juta dengan tingkat pertumbuhan adalah 0,35%. Parameter demografi lainnya kurang lebih sama dengan Indonesia. Total fertility ratenya adalah 2,14 dan net reproduction ratenya (rata rata jumlah anak berjenis kelamin perempuan dari seorang perempuan) adalah 1.02. Pada saatnya maka jumlah penduduk Jawa Tengah akan steady pada tahun 2025 ketika jumlahnya sudah 33,2 juta.

Dengan jumlah 32.2 juta jiwa dan volume ruang 32.800 km2 maka Jawa Tengah saat ini tergolong sebagai ruang paling padat di dunia. Kepadatan ini hanya dapat diungguli (sedikit) oleh Banten, Jawa Barat dan DI Yogyakarta sedang untuk tingkat dunia hanyalah Bangladesh. China sebagai negara dengan penduduk terbesar di dunia tidak sepadat Jawa Tengah. Kepadatan provinsi terpadat di China yaitu Jiang Su hanya 75% dari kepadatan Jawa Tengah.

Dalam kaitan dengan sumber daya air penduduk yang padat adalah beban. Ada 2 alasan kenapa penduduk yang padat adalah beban. Yang pertama, dari sisi penyediaan, kepadatan penduduk dengan persebaran yang sembarangan akan cenderung mengancam sumber sumber air sehingga kuantitas dan kualitas sumber sumber air menjadi berkurang. Menyusutnya debit sumber sumber air bawah tanah dan menaiknya nisbah debit maksimum dan minimum sumber air permukaan adalah contoh dari akibat penduduk yang padat. Yang kedua, dari sisi kebutuhan, kepadatan yang tinggi adalah kebutuhan sumber daya air yang tinggi. Kebutuhan ini meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat hidup. Jawa Tengah mendapatkan beban ini, yaitu kelangkaan air.

Curah hujan normal Jawa Tengah adalah sekitar 2.500 mm/tahun maka setiap tahun ada 82 milyar m3 air tercurah dari langit. Jika dibagi 32.2 juta penduduk Jawa Tengah maka setiap orang akan mendapatkan 2.500 m3/tahun. Dengan anggapan hanya 25% yang dapat dimanfaatkan melalui bendungan, bendung, dan tadah hujan maka ketersediaan air hanyalah 625 m3/kapita/tahun, suatu jumlah yang sangat kurang. Sebagaimana diketahui ketersediaan air yang ideal adalah pada kisaran 2.000 m3/kapita/tahun (pesimis) sampai dengan 5.000 m3/kapita/tahun (optimis).

Dari angka angka di atas maka penduduk Jawa Tengah yang ideal dari aspek ketersediaan air (katagori pesimis) adalah 8 juta orang. Jika hal itu ingin dicapai pertumbuhan penduduk yang negatif perlu dilakoni. Untuk itu perlu menerapkan jurus China ‘satu perempuan satu anak’ atau migrasi ke luar daerah atau keduanya.

Lain daripada itu, ke depan Jawa Tengah dan Jawa pada umumnya tetap akan mengalami kekeringan (dan banjir secara bergantian) karena angka angka yang ada mengharuskan demikian. Jadi ketika kekeringan hadir mestinya kita tidak perlu panik. Yang penting ketika air langka (kekeringan) air yang ada telah teralokasikan secara proporsional. Lebih lanjut, ketika air ada masyarakat dapat memanfaatkan secara hemat dan ketika air berlebih (banjir) masyarakat telah mendapatkan peringatan dini.

Baca lanjutan!

Rabu, 02 Juli 2008

Pompa Untuk Mengatasi Kekeringan

DITJEN SDA DISTRIBUSIKAN 136 POMPA UNTUK ANTISIPASI KEKERINGAN, demikian judul berita pu sebagaimana ditayang pada situs Departemen PU. Pompa pompa ini akan digunakan untuk menyedot air dari sumber air yaitu sungai, waduk lapangan, embung dan saluran air. Pompa akan didistribusikan melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk – Cisanggarung sebanyak 20 unit, Citanduy 10 unit, BBWS Bengawan Solo 25 unit, Citarum 10 unit dan BBWS Cidanau – Ciujung – Cidurian 15 unit. Kapasitas pompa adalah 25 L/s.


Saya sulit memahami kenapa persoalan kekeringan diatasi dengan penyediaan pompa? Kekeringan artinya adalah kelangkaan atau ketiadaan air. Kalau tidak ada air terus apa yang akan dipompa?

Pada saat musim kering (kemarau) semua air di sumber sumber air di Pulau Jawa sudah teralokasikan. Pengambilan air dari suatu titik di sungai dan saluran akan menghilangkan kesempatan pengguna air di bagian hilir. Jadi semacam zero game saja, yang satu mendapatkan dengan cara menghilangkan kesempatan yang lain. Contohnya, Departemen Pertanian pernah memberikan bantuan pompa untuk mengatasi kekeringan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Petani penggarap sawah pada DI Trani dan DI Lemahbang memanfaatkan pompa tersebut untuk mengambil air dari Saluran Colo. Dampaknya adalah lahan sawah DI Colo di Kabupaten Sragen yang pasokan airnya telah dialokasikan dari saluran Colo menjadi tidak terairi.

Dampak yang paling berat adalah terjadinya penurunan kualitas perilaku para pengguna air. Pengalaman bahwa kita boleh memompa air dari saluran atau sungai begitu saja membawa kepada pemahaman bahwa semua orang boleh mengambil air darimanapun tanpa syarat apapun. Maka saat itu di sepanjang saluran Colo marak terjadi pengambilan air dengan pompa, bahkan di beberapa titik dibangun stasiun pompa permanen. Saya kira sampai saat ini penertiban belum dapat dilakukan sehingga pompa masih menjadi persoalan pengelolanya.

Saya tidak sependapat dengan solusi penyediaan pompa untuk mengatasi persoalan kekeringan. Sebagian besar persoalan kekeringan terjadi karena penggunaan air yang tidak terencanakan (misalnya, karena petani menamam padi di luar lahan rencana, mengharap hujan, mengharap air tanah, dsb.). Lebih lanjut, sebagian besar penggunaan air tidak terencanakan terjadi karena pengguna air (petani) tidak mempunyai pilihan pekerjaan yang lain. Saya rasa akar dari persoalan kekeringan lebih kepada lapangan kerja tinimbang kepada kelangkaan air itu sendiri.

Persoalan kekeringan tentu harus dipecahkan, secara multisektoral. Jangka panjang (dari sektor Pengembangan SDA) dijalankan dengan konsisten semua instrumen pengelolaan SDA seperti: Pola dan Rencana Pengelolaan SDA, Dewan SDA, TK-PSDA, GNKPA dan lain lainnya. Dari sektor yang lain misalnya: pengendalian penduduk (jumlah maupun persebarannya) , penegakan peraturan tentang rencana tata ruang, peningkatan pendidikan, penyediaan lapangan kerja, dsb. Jangka pendek dengan sosialisasi ketersediaan air, penyediaan pekerjaan secara padat karya, penyediaan hujan buatan dsb.

Baca lanjutan!